
Lampung, Release24.online – Menyoroti keputusan Komisi II DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 15–16 Juli 2025 yang menginstruksikan pengukuran ulang lahan HGU milik SGC.
Langkah itu diambil lantaran ditemukannya ketimpangan data luasan lahan, yang bervariasi antara 75.600 hingga 141.000 hektare dari berbagai lembaga negara.
Ramanda Ansori Fungsionaris PB HMI menilai keputusan itu terkesan menutup ruang konflik agraria lainnya, padahal jika melihat beberapa pekan terakhir issue persoalan agraria di provinsi lampung sangatlah memuncak dan banyak yang perlu ditindak, seperti PT Bumi Waras, PT BNIL, PT AKG, PTPN I Regional 7, hingga grup raksasa seperti Sinarmas, Gajah Tunggal, Wilmar, dan Great Giant Pineapple (GGP), PT. Jalaku.
Ramanda juga menjabarkan, banyak perusahaan lain yang belum tersentuh audit dan pengukuran, padahal memiliki jejak konflik lahan yang kompleks. Misalnya:
• PTPN I Regional 7 Unit Way Berulu: Terdapat selisih penguasaan lahan 178 hektare antara data HGU dan hasil verifikasi.
• PT Bumi Madu Mandiri (BMM) di Way Kanan: Diduga menguasai lebih dari 4.600 hektare lahan eks-PTPN tanpa kejelasan hukum.
• Kawasan Register 42, 44, dan 46: Terjadi konflik berkepanjangan dengan masyarakat adat akibat ketidakjelasan batas wilayah dan status hukum.
• PT. Jalaku Lampung Utara, terjadi konflik antara masyarakat dan TNI AL KIMAL akibat saling Klaim kepemilikan.Beberapa kawasan Register seperti Register 42 di Way Kanan yang dikelola PT Inhutani V dan mitranya PT Paramitra Mulia Langgeng, serta Register 44 dan 46 yang terlibat dengan PT Budi Lampung Sejahtera dan PT Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI), turut menjadi perhatian.
Selanjutnya Ramanda menilai sistem pertanahan nasional masih menyimpan celah penyimpangan struktural yang berpotensi merugikan rakyat kecil. Oleh sebab itu, ramanda meminta untuk:
• Pengukuran ulang seluruh lahan HGU korporasi besar secara adil dan merata.
• Keterbukaan data HGU: pemegang hak, batas wilayah, masa berlaku, dan kontribusi ekonomi.
• Audit sosial dan lingkungan terhadap korporasi yang memiliki konflik dengan masyarakat.
• Peran aktif pemerintah daerah dalam mendukung penataan agraria yang adil. ***